Accera Kalompoang, Bebersih Pusaka Khas Kerajaan Gowa
Kemajemukan budaya di Indonesia mungkin bisa membuat Indonesia menjadi Negara paling “kaya” di dunia. Bahkan, sampai tradisi membersihkan benda-benda pusaka, tiap daerah memiliki caranya tersendiri. Jika Keraton Jogjakarta punya Siraman Pusaka dan Ngalungsur Pusaka di Jawa Barat, maka Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan kerap menghelat Upacara Adat Accera Kalompoang.
Benda-benda pusaka yang tersimpan rapih di dalam Museum Balla Lompoa setiap sekali dalam setahun, tepatnya seusai Shalat Idul Adha (10 Zulhijjah) akan dikeluarkan dan dibersihkan. Benda-benda tersebut seperti tombak rotan dengan ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi (lassipo), keris emas berhiaskan permata (tatarapang), senjata atribut berkuasanya raja (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas (bangkarak ta’roe) dan kancing emas (kancing gaukang).
Selain perangkat khas Kerajaan Gowa, benda-benda dari luar Kerajaan juga ikut dibersihkan. Mulai dari kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina dari abad XVI, tombak emas, parang panjang (berang manurung), penning emas dari Kerajaan Inggris di 1814 M hingga medali emas dari Belanda.
Seorang Anrong Gurua alias Guru Besar akan memimpin pembacaan surat Al-Fatihah berbarengan dengan peserta upacara sebelum mencuci benda-benda pusaka dimaksud dengan menggunakan air suci. Selain air, khusus untuk senjata pusaka seperti mata tombak, keris hingga parang proses pencuciannya ditambah dengan langkah pemulasan dengan menggunakan minyak wangi, rautan bamboo dan jeruk nipis.
Uniknya, selain pembersihan dan pencucian benda-benda pusaka kerajaan, salah satu inti dari Accera Kalompoang adalah upacara penimbangan Salokoa atau Mahkota raja yang terbuat dari emas murni dan dikreasikan pada abad ke-14. Mahkota ini sendiri pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga dan disimbolkan lewat pelantikan raja-raja berikutnya. Penimbangan mahkota berhiaskan 250 butir berlian dengan berat mencapai 1.768 gram tersebut dipercaya sebagai isyarat dari kehidupan masyarakat Gowa untuk masa yang akan datang. Jika berat timbangan berkurang, maka dianggap pertanda akan terjadinya bencana. Sebaliknya, jika berat timbangan bertambah, dipercaya sebagai isyarat kemakmuran.
Upacara adat Accera Kalompoang, diprakarsai oleh Raja Gowa yang pertama kali menganut agama Islam, I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada 9 Jumadil Awal 1051 H atau 20 September 1605. Namun baru pada masa pemerintahan I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papambatuna yang menjabat sebagai Raja Gowa ke XV, acara ini menjadi tradisi. Dan saat Raja Gowa XVI (I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana) alias Ayam Jantan Dari Timur berkuasa, unsure-unsur ke-Islam-an mulai dipadukan lewat penyembelihan hewan kurban.
Tertarik menyaksikan upacara adat ini? Datang saja setiap 10 Zulhijjah lepas Shalat Idul Adha ke Museum Balla Lompoa, Kerajaan Gowa di Jl. Sultan Hasanuddin No. 48 Sungguminasa, Somba Opu, Kabupaten Gowa. Sebagai bentuk dukungan terhadap tradisi sekaligus persyaratan untuk mengikuti Accera Kalompoang, pengunjung diwajibkan berbusana adat Makassar.