Juwet, Si Anggur Jawa
Masa lalu takkan pernah jauh meninggalkan kita.
Tadi siang saya betulin hape di sebuah mal. Cuma bisa makan sana makan sini, karena toko buku tempat biasa numpang nunggu, sudah tutup kontrak. Setelah urusan selesai, saya kembali ke tempat parkir motor yang ada di depan ruko (saya jarang parkir di dalam area parkir, kelamaan ribetnya). Baru jalan beberapa meter, lha kok lihat orang jual juwet di pinggir jalan. Beli dong… secara rada ajaib lihat juwet-yang notabene buah masa lalu, dijual di samping mal masa kini.
Warnanya hitam-ungu, ranum, dan mengundang air liur. Ditakar dengan wadah plastik, dihargai 6.000 sekali takar. Iseng saya timbang di kost, seplastik ada 2,5 ons. Artinya 24.000/kg. Lumayan mahal untuk ukuran buah ‘ndeso’. Bisa jadi karena sudah cukup langka dan sulit mendapatkannya.
Oiya, Anda kenal ‘Juwet’?
Bagaimana kalau saya menyebut ‘Duwet’? Atau ‘Jambu Kalang’? Atau bisa jadi Anda langsung ngeh kalau saya sebut…..’Jamblang’? Yaps, semua itu adalah nama lainnya si Juwet tadi. Dan sebutan internasionalnya adalah ‘Java Plum’.
Saya jadi ingat, waktu kecil dulu suka manjat juwet milik Simbah di kampung. Rebutan cepat sama angin. Yang merah dan ijo (bentuknya mirip anggur) buat lempar-lemparan ke kepala, saking melimpahnya. Yang mateng warna hitam rasanya manis-sepet, jika dimakan meninggalkan warna ungu di lidah.
Sewaktu Googling di Wikipedia, juwet yang banyak mengandung ‘tanin’ dan ‘yambolin’ bisa menjadi obat diare, batuk, peluruh haid, dan diabetes. Konon juga biasa dipakai sebagai obat tradisional untuk mengurangi kerusakan hati para penderita kanker yang mendapatkan kemoterapi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jamblang)
Baru tahu, ternyata buah jadul ini banyak manfaatnya. Dan jangan lupa, taburkan sedikit garam sebelum dimakan, seperti yang saya lakukan sekarang. #nyam-nyam