Masjid Katangka : Saksi Sejarah Lahirnya Islam di Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan merupakan salah satu lambang sejarah pengaruh Islam di nusantara. Konon masjid Katangka yang terletak di Kabupaten Gowa merupakan tonggak sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
Dari sejak dibangunnya sekitar 400 tahun silam, suasana dan kegiatan di masjid ini tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Masjid Tua Katangka masih berdiri kokohdan tetap mempertahankan fungsinya sebagai tempat pengajaran agama Islam. Masjid ini terletak di Jalan Syech Yusuf, Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Sulawesi Selatan. Untuk menjangkaunya, butuh waktu 30 menit berkendaraan mobil dari pusat keramaian kota Makassar.
Seperti tak pernah kehilangan berkahnya, masjid ini terus ramai dipadati jamaah yang ingin menunaikan shalat lima waktu. Sebagian masyarakat masih meyakini bahwa beribadah di masjid tersebut membawa berkah tersendiri bagi mereka, kendati semua masjid merupakan “rumah Allah”. Tak heran jika pada bulan Ramadhan, masjid ini seakan tak mampu membendung membludaknya jamaah yang akan beribadah di dalamnya.
Sebetulnya, nama asli masjid ini adalah Ali-Hilal. Namun, masyarakat dan juga sejarah lebih mengenalnya dengan sebutan Masjid tua Katangka. Hal ini disebabkan mengingat masjid ini yang tertua di Katangka, malah di seluruh Sulawesi Selatan. Lahir lebih awal dibandingkan dengan masjid tua lainnya di Sulawesi Selatan. seperti masjid Jami’ Palopo di Kabupaten Luwu (berdiri tahun 1604) dan Masjid Nurul Hilal di Kabupaten Bulukumba (dibangun pada tahun 1605).
Sejarah kelahiran Masjid Tua Katangka bisa ditelusuri dari prasasti yang tertoreh di pintu utamanya. Ditulis dalam Bahasa Makassar namun menggunakan huruf Arab, masyarakat setempat mengenalnya sebagai huruf uki ri serang. Bila diterjemahkan dalam Indonesia, pesan itu kurang lebih berarti :”Masjid ini dibangun pada hari Senin 7 Rajab 1011 Hijriah bertepatan dengan 18 April 1603 Masehi.
Pada kurun waktu itu, wilayah Gowa masih berbentuk kerajaan. Adapun yang duduk di kursi singgasana adalah Raja Gowa ke-14 bernama I Manga’rangi Daeng Manra’bia. Karaeng Tumenagari Bonto Biraeng (1593 – 1639). Dalam menjalankan roda pemerintahan, Manga’rangi dibantu oleh Tumabbicara Butta atau Mangkubumi Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyori. Duet raja dan mangkubumi ini tercatat sebagai petinggi kerajaan Gowa pertama yang masuk Islam.
Masuknya Islam ke Gowa tak lepas dari posisi daerah ini yang strategis. Letaknya yang di bibir pantai membuat Gowa menjadi pusat perniagaan penting. Kaum pendatang, terutama para saudagar, berdatangan silih berganti. Mereka tak hanya membawa barang dagangan, melainka juga budaya dan agama, terutama agama Islam, mereka kebanyakan berasal dari Ras Melayu, terutama dari Sumatera Barat.
Sejak kedatangan para pedagang asal Sumatera Barat, pelan tapi pasti, banyak warga Gowa yang mulai memeluk Islam. Lambat laun, ajaran ini akhirnya masuk juga ke lingkungan istana. Salah seorang dari sejumlah penyiar Islam yang paling berpengaruh masa itu adalah Abdul Mahmud Khatib Tunggal asal Padang Darat, Kampung Kota Tengah, Sumatera Barat. Warga Gowa sering memanggilnya Datuk Ri Bandang.
Dalam melaksanakan syiarnya, Datuk Ri Bandang dibantu oleh Khatib Sulaeman atau dikenal sebagai Datuk Ri Patimang dan Khatib Bungsu atau lebih dikenal dengan panggilan Datuk Ri Tiro. Tiga serangkai inilah yang sukses menembus tembok istana danberhasil mengislamkan Raja Gowa ke-14 beserta mangkubuminya.
Awalnya raja tidak terang-terangan berpindah keyakinan. Raja baru resmi memeluk Islam pada 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605, dua tahun sejak memerintahkan pembangunan masjid Tua Katangka. Prosesi ini ditandai dengan pengucapan dua kalimat syahadat, baik oleh Raja Gowa maupun mangkubuminya. Lantas raja mendapat gelar Sultan Alauddin, sedangkan Mangkubumi Malangkang bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam.
Sejak itu, penyebaran Islam menjadi pesat, segenap rakyat berbondong-bondong memeluknya. Dua tahun kemudian, seluruh rakyat Gowa dan Tallo menyatakan diri memeluk agama Islam. Selain itu, Islam pun secara resmi menjadi agama kerajaan. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan shalat Jumat untuk pertama kalinya di Masjid Tua Katangka pada 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607.
Menempati areal seluas 610 meter persegi. Semula, luas bangunan masjid adalah 13 x 13 m. Setelah beberapa kali mengalami renovasi, kini luasnya 212,7meter persegi.Di sekeliling bangunan berdiri pagar besi setinggi satu meter. Dari sisi arsitektur, masjid yang mampu menampung 300 jamaah dalam 12 shaf ini ini terlihat sederhana, terdiri dari dua lantai, namun ukuran bangunan bagian atas sangat kecil, sehingga dari kejauhan tampak menyerupai kubah.
Sejak berdiri, Masjid Katangka menjadi pintu utama penyebaran Islam di seluruh pelosok Sulawesi Selatan. Sederet ulama besar pernah punya andil menghidupkan syiar Islam di Masjid Katangka. Satu diantaranya ialah Syekh Yusuf Taj al-Khalawati, ulama sekaligus pejuang yang sempat dibuang Belanda ke Afrika Selatan, yang lebih dikenal dengan nama Tuanta Salamaka
Comments
rencana siswa SMA Negeri Mallusetasi Barru akan kubawa studi banding di Mesjid Katangka jadi sy mencari sumber.
7 months ago