Noken Warisan Tanah Cendrawasih yang Unik
Papua, yang hangat disapa dengan sebutan bumi cendrawasih memang memiliki banyak keunikan. Propinsi yang menjadi wilayah terluas di Indonesia ini punya beragam kebudayaan yang nyentrik dan sedikit berbeda dengan kebudayaan lain di Indonesia. Namun demikian, kebudayaan Papua jangan dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan primitif, melainkan sebagai warisan dan kearifan lokal yang justru harus dilestarikan di tengah arus globalisasi saat ini.
Salah satunya adalah Noken, buah karya khas provinsi paling timur Indonesia. Noken adalah sebuah tas hasil kerajinan masyarakat Papua yang terbuat dari tali hutan tertentu yang dibuat sedemikian rupa dengan cara dianyam dan akhirnya menjadi sebuah tas. Tali hutan tersebut dipilih secara khusus dan tidak mudah putus.
Cukup sulit saat ini untuk mendapatkan Noken. Saat ini Noken hanya dapat ditemui di daerah Paniai. Meskipun penduduk Paniai sendiri memiliki sebutan berbeda untuk noken ini, yakni Agiya. Di Paniai dikenal beragam jenis Agiya, yakni Goyake Agiya, Tikene Agiya, Hakpen Agiya, Toya Agiya, Kagamapa Agiya, dan Pugi Agiya. Beragam jenis Agiya ini dikelompokan berdasarkan bahan, bentuk, warna, dan pemakaian dalam suku. Saat ini di Paniai dikenal dengan lima suku dengan masing-masing Agiya. Suku Mee dengan Goyage Agiya, suku Dani dengan Tikene Agiya dan Hakpen Agiya, suku Ekari dengan jenis Toya Agiya, dan suku Nduga dengan Kagmapa Agiya serta suku Moni dengan Pugi Agiya.
Fungsi dari Noken atau Agiya ini pun beragam, umumnya berfungsi sebagai tas. Untuk kaum perempuan noken atau agiya ini digunakan untuk membawa sayuran, babi, umbi-umbian atau bahkan bayi. Pemakaian noken ini cenderung unik yakni ditempelkan dikepala sebagai tumpuan beban. Konon cara ini dianggap lebih ergonomis dibanding dengan menjinjing tas pada umumnya. Berbeda dengan di Paniai, Noken disebut Holoboi di Sentani, Kabupaten Jayapura. Sedangkan Noken Besar untuk para bangsawan disebut Wesanggen.
Keunikan Noken memang harus dilestarikan dengan baik, namun belakangan sudah sangat jarang ditemukan Noken yang terbuat dari tali hutan seperti Noken aslinya. Banyak Noken yang dijumpai terbuat dari plastik dan bahan sejenisnya. Padahal bahan tali hutan sangat kuat dan tidak mudah putus meski beban yang ditanggung sangat berat. Hal itu terkait dengan semakin sedikitnya para pengrajin noken di Tanah Cendrawasih ini. Kalaupun ada, para pengrajin Noken kebanyakan berusia 40 tahun keatas.
Selain itu, mulai ditinggalkannya Noken ini juga terkait dengan pembangunan yang semakin maju. Tidak banyak orang yang menggunakan Noken saat ini. Sekalipun ada hanya pada upacara-upacara tertentu atau di beberapa suku pedalaman seperti di Paniai. Selain itu, banyak yang menilai Noken ini dianggap tradisi primitif sehingga banyak orang enggan menggunakannya karena malu. Padahal Noken merupakan identitas dari daerah Papua yang seharusnya menjadi karakteristik dan kearifan lokal budaya nya.