Pasola, Sebuah Ritual Asmara Dari NTT
Indonesia memang bangsa yang kaya akan warisan budaya, beragam jenis kuliner, tarian, musik hingga tradisi yang turun temurun bersemayam di bumi nusantara ini. Tak heran jika semboyan Bhineka Tunggal Ika terasa sangat pas untuk mencerminkan kebhinekaan bangsa Indonesia. Tak hanya itu, tradisi yang diwariskan pun unik dan memiliki makna dan sejarah tersendiri. Salah satunya adalah tradisi Pasola dari Nusa Tenggara Timur.
Kata Pasola sendiri berasal dari kata “sola” atau “hola” yang memiliki arti lembing kayu yang digunakan untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang saling berlawanan. Pada dasarnya tradisi ini adalah sebuah permainan ketangkasan. Namun berkembang menjadi rangkaian dari upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama lokal masyarakat Sumba yakni Marapu.
Menurut beragam informasi dari cerita rakyat masyarakat Sumba, tradisi Pasola ini pada awalnya berasal dari tragedi percintaan antara Rabu Kaba, Umbu Dulla dan Teda Gaiparona. Berawal dari kepergian dari Umbu Dulla yang merupakan pemimpin kampung Waiwuang yang pergi melaut dengan dua pemimpin lainnya bernama Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Umbu Dulla yang adalah suami dari Rabu Kaba melaut bersama kedua kerabatnya dalam waktu lama dan tak kunjung kembali. Warga mengira mereka telah meninggal dunia.
Dalam kedukaan tersebut, janda Umbu Dulla, Rabu Kaba ternyata terjerat asmara dengan seseorang yang berasal dari Kampung Kodi yang bernama Teda Gaiparona. Namun ternyata keluarga dari kedua belah pihak tidak menyetujui perkawinan mereka sehingga mereka melakukan kawin lari. Tak lama berselang ternyata ketiga pemimpin Kampung Waiwuang kembali termasuk suami dari Rabu Kaba, Umbu Dulla. Mengetahui hal tersebut Rabu Kaba tidak ingin kembali karena telah jatuh cinta dengan Teda Gaiparona.
Melihat hal tersebut, Umbu Dulla bersikap bijak dengan menerima belis dari Teda Gaiparona. Belis sendiri adalah semacam mas kawin yang berupa barang berharga seperti kuda, sapi atau kerbau dan barang-barang berharga lainnya. Setelah diberikannya belis tersebut, maka dilaksanakanlah upacara perkawinan antara Teda Gaiparona dan Rabu Kaba. Di akhir upacara, Umbu Dulla mengadakan pesta nyale dalam wujud Pasola untuk melupakan kesedihan atas kehilangan Rabu Kaba.
Pasola diawali dengan pelaksanaan adat Nyale yakni sebuah upacara rasa syukur atas anugrah musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Tanpa mendapatkan Nyale, PAsola tidak akan dilakukan. Pasola diadakan di padang yang luas. Pesertanya terdiri dari dua kelompok yang berlawanan yang menunggangi kuda. Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemud bersenjatakan tombak yang berujung tumpul. Meskipun demikian permainan ini dapat mengakibatkan korban jiwa. Kedua kelompok yang berlawanan tersebut saling serang menggunakan kuda dengan saling melempar tombak tadi.
Terlepas dari sebuah tradisi dan kepercayaan terhadap leluhur, tradisi Pasola ini menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Tradisi Pasola ini juga sebagai wujud kekayaan warisan budaya Indonesia. Selain itu, tradisi Pasola ini juga sudah menjadi kebanggaan dan primadona masyarakat Sumba serta masyarakat Indonesia.
photo: courtesy of http://carlvaliquet.blogspot.com