Perjalanan Ke Istana Keselamatan Abadi, Eng An Kiong
Bau hio terbakar begitu nyegrak di hidung, harum yang sangat harum. Sebuah penyambutan yang luar biasa bagi saya yang besar dengan adat Jawa. Seumur-umur baru kali ini menginjakkan kaki di Klenteng, suatu hal yang dulu begitu “tabu” jika harus dilakukan. Namun hobi fotografi dan semangat kebersamaan Satu Indonesia jualah yang membawa saya sejauh ini. Bermula dari ajakan beberapa teman perkumpulan foto untuk hunting bareng di Kawasan Pasar Besar Malang, akhirnya pagi itu kami juga memutuskan untuk mengunjungi Klenteng Eng An Kiong yang terletak di Jl. RE Martadinata, Malang. Terlalu pagi, sambil menunggu teman yang meminta izin kepada satpam, kami sempatkan mengisi perut di sekitar pasar. Perizinan beres dan kami berdelapan dipersilakan jeprat jepret di dalam Klenteng dengan leluasa.
Di gerbang masuk terpampang Nama ‘Eng An Kiong’, dalam bahasa Mandarinnya ‘Yong An Kong’ artinya Istana Keselamatan Abadi. Dari namanya sudah terbayang tujuan yang diusungnya. Saat pertama kali menginjakkan kaki di dalam Klenteng, kami dihadapkan pada altar penyembahan tempat umat Konghucu melakukan sembahyang. Di ruangan ini terpajang banyak ornamen menarik: senjata, patung-patung dewa, lukisan khas Tionghoa, dan ukir-ukiran rumit nan cantik yang didominasi warna merah dan emas.
Lebih ke dalam lagi, kami mendapati ruang utama berupa altar penyembahan Dewa Bumi (Tu Ti Gong). Karena Malang adalah daratan, maka dewa utamanya adalah dewa Bumi. Ruangannya besar dan megah, penuh barang-barang persembahan dan lilin yang berwarna warni dengan bau wangi bila dibakar. Sakral.
Perjalanan kami lanjutkan ke bangunan tambahan di sayap kiri bangunan utama. Di sini terdapat banyak ruangan yang sepertinya digunakan untuk sembahyang untuk masing-masing Dewa. Terdapat pula kolam ikan yang memperindah taman. Di bagian belakang Klenteng terdapat altar persembahan untuk Dewi Kwan Im. Posisinya berada tepat menempel di bagian belakang bangunan utama. Sementara di bangunan tambahan bagian tengah terdapat altar persembahan lainnya yang cukup besar. Di kanan kirinya terdapat diorama yang menceritakan kisah-kisah bijak dan kisah Tionghoa lainnya. Cerita yang paling menarik perhatian adalah “18 Akrehat” yang mengisahkan 18 orang jahat yang kemudian insyaf dan menjadi orang-orang suci. Perjalanan kami lanjutkan ke bangunan tambahan di sayap kanan. Di sini terdapat taman yang menceritakan kisah “Penggembala dan Dewi Bulan”. Konon, kisah ini menggambarkan keduanya yang hanya bisa bertemu sekali setahun di hari valentine Cina. Burung-burung mengembangkan sayapnya sebagai jembatan penghubung antara langit dan bumi.
Selesai sudah acara berkeliling Klenteng dan mengabadikannya dalam bentuk foto. Satu hal yang sangat mengejutkan adalah, pengurus Klenteng begitu ramah menyambut kedatangan kami. Bertolak belakang dengan stereotif orang Tionghoa yang selama ini saya dengar. Sampai di gerbang, saya lihat lagi mercon yang tergantung di beranda, yang biasanya dibakar saat ada perayaan Imlek, lomba Barongsai, mengawali pertunjukan Wayang Potehi, maupun acara penting lainnya. Sementara itu, nyala lilin tetap terjaga membara, menunggu pergantian dengan batang lilin lainnya agar cahayanya tetap abadi, seabadi nama Klentengnya, Eng An Kiong.
Keterangan:
Nyegrak = jawa: sangat menusuk hidung sehingga hampir terbatuk.
Semua foto diambil di Malang, Januari 2009