Pudarnya Popularitas Braga
Bandung, salah satu kota besar di Indonesia ini memiliki sejarah yang sangat terkenal. Sekarang, Bandung sudah menjelma menjadi sosok kota metropolitan. Begitu pula yang terjadi di dalamnya, salah satunya adalah Jalan Braga.
Meskipun sore hari, suasana Braga masih nampak ramai. Berbagai aktivitas berjalan dengan tenang di jalan sepanjang 600 meter dan panjang 7,5 meter ini. Beberapa kafe nampak ramai dikunjungi, berbanding terbalik dengan keadaan di toko buku yang berada tak jauh sebelahnya.
Di sisi kanan kiri Jalan Braga terdapat kompleks pertokoan yang memiliki arsitektur dan tata kota yang tetap mempertahankan ciri arsitektur lama pada masa Hindia Belanda. Tata letak pertokoan tersebut mengikuti model yang ada di Eropa sesuai dengan perkembangan kota Bandung pada masa itu (1920-1940-an) sebagai kota mode yang cukup termasyhur seperti halnya kota Paris pada saat itu. Oleh sebab itu, Braga dikenal dengan sebutan Paris van Java.
Hilir mudik kendaraan bermotor, beberapa pelayan toko menawarkan menu makanan dan minuman kepada para pejalan kaki, serta pasangan remaja berjalan bergandengan tangan sambil sesekali berfoto. Itulah pemandangan yang dapat disaksikan ketika menyusuri Jalan Braga di Bandung.
Jalan Braga, tidaklah begitu ramai dibandingkan dengan jalan-jalan lainnya yang ada di Bandung. Sekalinya ramai pun dikarenakan kemacetan kendaraan di Jalan Braga atau saat-saat ada event yang terselenggara di sana, misalnya Braga Festival. Hari-hari biasa, jalanan ini hanya dihias oleh para penjaja lukisan yang tak kunjung dapat pembeli.
Tidak banyak jalan di Bandung yang masih mempertahankan bangunan-bangung dengan arsitektur lawas seperti Braga. Maka dari itu, selama ini Braga menjadi heritage sekaligus tempat wisata. Tidak hanya wisatawan lokal yang mengunjungi Braga, namun wisatawan mancanegara pun kerap kali berlalu-lalang di sepanjang jalan ini.
Braga merupakan saksi bisu akan peristiwa penting di Hindia Belanda yang erat hubungannya dengan Kota Bandung. Seperti pembuatan Jalan Raya Pos yang membentang melintasi Pulau Jawa dari Anyer di ujung barat ke Panarukan di ujung timur dan Politik Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Di sepanjang deretan gedung-gedung kuno Jalan Braga, dapat dilihat, ada sebuah bangunan megah nan modern. Bangunan itu dinamai Braga City Walk. Inilah satu-satunya yang “modern” dari Braga. Sebuah kawasan yang berkonsep gabungan dari beberapa pusat keramaian seperti Shopping Mall Bandung, Kondominium, maupun Bandung Hotel. Namun entah mengapa saat berkunjung ke sana, tempat itu tidaklah seramai tempat perbelanjaan lainnya.
Yang pasti, para wisatawan tidak akan luput dari sesi foto-foto di depan bangunan-bangunan sepanjang Braga. Unik dan keren, itulah yang dikatakan para remaja dari salah satu SMP Negeri di Bandung ketika ditanya mengapa berfoto-foto di Jalan Braga. Dan memang, karena keindahannya, Braga dijadikan tempat perkumpulan pecinta fotografi.
Popularitas Braga cukup dibantu oleh suatu event rutin yang selalu dilaksanakan tepat di Jalan Braga, yaitu Braga Festival. Braga Festival adalah event lokal di Kota Bandung yang meng-international. Pemerintah Kota Bandung secara rutin menggelar Braga Festival sejak tahun 2005. Event ini menjadi ritual kota bandung yang sangat dinantikan setiap tahunnya.
Memang, Braga dipenuhi oleh pertokoan dan kafe. Namun, pertokoan seperti toko buku dan sepatu sangat sepi dari pengunjung. Dekorasi toko masih mempertahankan bangunan zaman dulu, kuno, tidak seperti toko-toko modern lainnya. Begitu pula dengan kafe atau restoran. Selidik punya selidik, akhirnya dapat diketahui mengapa kafe di sana tidak seramai di jalan lain. Ternyata, harga menjadi penyebabnya. “Tempatnya sih lumayan, pengen nyobain juga makan di sana. Tapi sayang, harganya gak sesuai dengan anak sekolahan”, ujar siswi SMA Negeri di Bandung.
Pemerintah sudah berancang-ancang untuk memberdayakan Braga sebagai art district, yaitu kawasan seni dengan mengutamakan keindahan dan kenyamanan. Namun realisasinya belum terlihat untuk saat ini.
Bangunan-bangunan tua yang merupakan saksi bisu sejarah itu kini sudah rapuh. Retakan di tiap dindingnya, hingga ada beberapa bangunan yang memang rusak parah hingga sudah tak bertuan lagi. Tapi kenyataannya, hal itu tetap dibiarkan, baik oleh pemerintah dan warga setempat. Maka, apa langkah selanjutnya untuk sang primadona, Braga?