Rayakan Panen Dengan Upacara Sao-Raja
Ada cara unik dari masing-masing daerah untuk menyambut masa panen. Sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen, biasanya masyarakat yang masih memegang nilai-nilai tradisional memiliki ritual tertentu yang memang harus dilaksanakan setiap tahunnya. Salah satunya terdapat di Desa Kulo, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan.
Sebuah upacara adat setempat yang bernama Sao-Raja digelar sebagai tanda syukur masyarakat setempat atas hasil panen yang mereka dapatkan. Upacara adat terdiri dari beberapa rangkaian mulai dari Mappantinro Te-dong (menidurkan kerbau), Mappendendang (musik tradisional) hingga Mattojang (Mengayun).
Upacara berlangsung di istana Kulo atau Saoraja Kulo. Di tempat tersebut akan diadakan ritual Mappantiro Tedong dimana terdapat sebuah perlombaan Mattojang (mengayun) yang akan diikuti oleh perwakilan dari sejumlah desa di Kecamatan Kulo, Sidrap.
Uniknya, Mattojang (mengayun) akan dilakukan di ayunan yang cukup besar dengan tingi sekitar 12 meter yang berdiri di halaman rumah adat. Enam buah tiang dari pohon kayu jati akan dibangun menjadi sebuah ayunan. Pembuatan ayunan ini dilakukan secara bergotong royong oleh para laki-laki di desa Kulo. Ayunan ini nantinya akan digunakan oleh setiap tamu yang datang dalam upacara ini.
Seluruh prosesi dimulai denganbunyi-bunyian musik (Mappendendang) yang dimainkan keluarga besar Arung Kulo dengan beberapa syarat tertentu. Selanjutnya, beberapa orang yang mengikuti Mattojang (mengayun) akan melakukan aksinya diatas ayunan yang cukup besar tersebut. Peserta kurang lebih akan mengayun dengan ketinggian sekitar 10 meter dari dasar tanah. Selain sebagai adu ketangkasan, prosesi ini juga menjadi tontonan menarik bagi mereka yang menyaksikannya.
Selama Mattojang (mengayun) berlangsung, sebuah prosesi lainnya yang cukup sakral dilakukan. Diatas rumah adat (Saoraja) , dilakukanlah prosesi pencucian benda-benda pusaka peninggalan Arung Kulo. Hanya orang-orang dari keturunan Arung Kulo sajalah yang dapat menyaksikan prosesi ini mengingat ritual yang sangat sakral.
Selanjutnya ritual dilanjutkan dengan Malika Daung Ta yakni prosesi mengambil daun lontar. Prosesi ini biasa dilakukan siapapun dengan syarat daun yang diambiluntuk upacara adat tidak diperbolehkan untuk menyentuh tanah.
Selain sebagai ungkapan syukur atas hasil panen, upacara Sao-Raja ini memang menjadi ajang silahturahmi serta tolong menolong sesama masyarakat. Segala pengerjaan dilakukan langsung oleh masyarakat setempat. Bahkan segala kebutuhan yang diperlukan juga dipersiapkan secara sukarela oleh warga setempat. Padahal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan upacara ini terutama adanya penyembelihan kerbau, kambing dan ayam.
Upacara Sao-Raja memang menjadi ritual yang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Kulo. Selain sebagai upaya melestarikan warisan kebudayaan leluhur, upacara ini juga sebagai bentuk solidaritas serta rasa kekeluargaan masyarakat Kulo yang menjadi cerminan langsung budaya bangsa Indonesia.