Serial Memories of Gombloh: Anak Juragan Ayam yang Suka Keluyuran
Lagu-lagunya yang begitu nyentrik dan heroik, tidak lepas dari pengaruh masa kecilnya yang nyurabayani. Meskipun sebenarnya lelaki ini lahir di Tawangsari, Jombang pada 12 Juli 1948, namun sungguh bersatu dengan kultur Surabaya yang ‘berangas’ sejak masa bocahnya. Di dalam keluarga, Gombloh yang paling mbeling. Sejak kecil, dia sudah sering menghilang dari rumah. Ibunya, yang amat mencintai Gombloh, sering dibuat bingung oleh ulahnya. Pernah sepulangnya dari sekolah, dia langsung menghilang sampai Maghrib dan ternyata Gombloh kecil sedang asyik menonton orang melukis di pinggir jalan.
Gombloh kecil, memang kerap mengabaikan perintah mengaji, sebagaimana kebiasaan anak-anak di kampungnya, kampung Embong Malang, Surabaya. Tak jarang mengabaikan juga ajakan untuk membantu usaha ayahnya, pak Slamet, juragan ayam. Sementara enam saudaranya yang lain, sangat penurut dan patuh terhadap orang tuanya. Dari ketertarikannya ke dunia lukis, Gombloh lantas tergila-gila pada musik. Dia sering mendatangi tetangganya yang punya pintar. Karena Gombloh cepat pintar, tetangganya senang. Tidak hanya mengajari saja, bahkan hingga meminjaminya gitar. Gombloh yang waktu itu berusia enam tahun kurang, semakin bersemangat dalam bermain gitar.
Akibat ketergila-gilaannya pada musik, dia jadi lebih tidak mempedulikan lagi kewajiban-kewajibannya, termasuk cara berpakaiannya. Dia menjadi anak yang berpenampilan yang tidak rapi. Tapi anehnya, sekolahnya jalan terus dan sangat lancar. “Cak Su tergolong murid yang cerdas, mampu menangkap pelajaran dengan mudah. Diterangkan satu kali saja, sudah hafal langsung di luar kepala”, tutur dr. Sudjari, adik Gombloh. Ketika merasa sudah pintar main musik, Gombloh tertarik untuk ngamen. Ya, Sudjarwoto Sumarsono, sang anak juragan ayam Embong Malang itu tidak sedikitpun merasa malu jual suara dari rumah ke rumah, ke toko-toko, ke warung-warung sampai ke restoran-restoran.
Meskipun mbeling, ternyata Gombloh sangat halus perasaannya. Dalam pergaulan dengan kawan-kawannya, dia membenci anak-anak yang mengejek orang lain. Kalau bertengkar, dia suka mengalah. Dari sikapnya yang selalu mengalah ini, Gombloh menjadi anak yang tak suka berkelahi. Yang lucu, kalau dijahili teman, maka yang membela adalah kakak-kakaknya, tetapi kalau adik-adiknya yang dijahili teman-temannya, Gombloh malah menyalahkan adiknya. Tahun 1965, saat memasuki bangku kelas 2 SMA Negeri 5 Surabaya, Gombloh semakin sibuk dengan kegiatan-kegiatan musiknya. Dia seringkali mendapatkan undangan main musik, mulai dari ulang tahun teman, acara keluarga, perpisahan hingga malam pentas seni sekolah.
Populer walaupun masih dalam kalangan terbatas, membuat Gombloh semakin tergila-gila pada musik. Yang mengagumkan, itu semua justru tidak membuat nilai pelajarannya merosot. Otaknya memang encer. Tetapi sayang karena dia punya uang dari hasil undangan-undangan itu, dia jadi tergelincir. Dia mulai mengenal rokok, minuman dan kehidupan malam Surabaya. Inilah yang membuat fisik Gombloh lemah dan akhirnya diketahui ia mengidap penyakit paru-paru. Agak lepas kontrol, uang hasil ngamen itu ludes tak karuan. Semakin hari, dia semakin larut pada kehidupan malam. Suka begadang, nyangkruk di warung-warung kecil pinggir jalan untuk ngobrol dan minum, menghabiskan waktu untuk perempuan-perempuan malam.
Tahun 1968, setamat SMA dengan nilai lumayan, ia diterima di ITS (Institut Teknologi 10 November) dengan jurusan Arsitektur. Bukankah itu bukti dari keenceran otaknya? Tetapi sekali lagi sayang kecintaannya pada musik, dan kelarutannya pada kehidupan malam, membuatnya tak betah melanjutkan kuliah. Bahkan kemudian ia ikut-ikutan masuk gank. Di Surabaya, kala itu memang lagi musimnya gank gank-an. Dia menjadi anggota gank terkenal Surabaya kala itu yang bernama “Gegars Otack”. Tapi ada nilai positifnya, dia bergabung dengan gank ini, sebab gank ini memiliki radio amatir dan banyak anggotanya suka musik. Sehingga wawasan musiknya menjadi semakin berkembang.
Kehidupan Gombloh yang seperti burung terbang bebas itu, terus berlanjut. Dan selama itu pula, keluarganya tidak mengetahui apa saja yang dilakukan Gombloh di luar rumah. Kadang mereka mendengar Gombloh main musik di salah satu night club di Surabaya, kadang pula mereka mendengar tiba-tiba Gombloh sudah main musik di Jakarta atau Bali. Dan sejauh itu, hanya ibunya saja yang selalu menyebar pesan kepada teman-teman Gombloh, untuk menyuruh dia pulang.
Sekitar tahun 1975, Bengkel Muda Surabaya (BMS) berdiri. Para pemuda pecinta seni, mulai dari seni musik, seni rupa dan drama, banyak yang masuk dalam organisasi ini, termasuk Gombloh. Di sini Gombloh pun berkenalan dengan Leo Kristi, Naniel Khusnul Yakin, Mung, dan masih banyak lagi. Tetapi ketiga nama itu ternyata sungguh menginspirasi Gombloh untuk menjajal dunia rekaman, karena mereka sudah lebih dulu masuk. Bahkan, Franky Sahilatua, salah seorang yang banyak belajar bermusik darinya, juga berhasil masuk rekaman mendahului dirinya dan albumnya sukses besar. Menghibur diri, Gombloh selalu bilang, “Tenang, belum saatnya Gombloh muncul ke permukaan”. Tetapi diam-diam rupanya musisi yang mengaku berangkat dari corak musik blues ini, merasa kreativitasnya terpancing.
Tahun 1978, dia berhasil meluncurkan album perdananya, “Nadia dan Atmosfer”. Ketika itu grup Gombloh adalah Totok Tewel, Tuche, Renny, Lorenz dan Ais. Tetapi sebelum itu, Gombloh sudah bergabung dengan grup “Lemon Trees” bersama Leo Kristi, Ita dan Naniel. Album perdananya ini tidak terlalu meledak di pasaran, masih kalah dengan Leo Kristi, “Nyanyian Fajar” ataupun milik Franky yang berduet dengan Jane, adiknya. Tetapi salah satu lagunya yang berlirik nakal, “tai kucing rasa coklat” sontak populer di masyarakat.
Uang yang diperolehnya dari album itu, lantas dibagi-bagikan kepada semua teman-temannya. Begitu royal, sehingga cepat habis. Selain rekaman, Gombloh masih sering ‘ngamen’ di Shinta dan Blue Sixteen. Sehabis ‘ngamen’, pulang ke BMS, tempat dia mangkal sehari-hari. BMS memang sudah jadi ‘rumah’ bagi Gombloh dan teman-teman seniman yang lainnya.
Tahun-tahun itu, bintang Gombloh memang belum saatnya bersinar terang. Lantas tiba-tiba Gombloh punya ide membuat opera musik “Damarwulan”, yang melibatkan sekitar 80 orang. Giat berlatih selama tiga bulan, tetapi ketika ditawarkan, tidak ada satu pihak pun yang berniat mempargelarkannya. Kembali dia limbung, dan semakin sarat ke kehidupan malam.
Sebenarnya, tidak selalu Gombloh berkelakuan sebagaimana layaknya ‘pembeli’ dan ‘penjual’ apabila bergaul dengan perempuan-perempuan malam itu. Seringkali Gombloh memperlakukan perempuan-perempuan itu hanya sebagai teman ngobrol, teman bercerita, berbagi uneg-uneg bahkan sumber inspirasi karya-karyanya. Dari rasa pergaulannya yang merakyat ini, baik kepada perempuan malam atau teman-temannya sesama seniman, unsur jiwa sosialnya tampak lebih berperan. Dia dikenal sebagai sosok yang dermawan. Kalau punya uang, dia langsung mentraktir ataupun membantu teman-temannya hingga uang itu habis. Dia tak pernah berpikir, besok akan bagaimana.
Para WTS yang sering dikunjunginya, lebih terlihat sebagai sahabat. Mereka tak jarang terbuka kepada Gombloh. Mereka pun bercerita pada Gombloh apabila ada kesulitan yang dialami, mulai dari kesulitan keuangan ataupun kesulitan-kesulitan yang lain. Serta merta, Gombloh pun membantunya ataupun mencarikan jalan keluar atas masalah-masalah itu. Bahkan Djoko Suud Sukahar, salah seorang teman Gombloh bercerita bahwa suatu ketika Gombloh menemui seorang WTS di daerah Jarak yang sedang mengalami penyakit yang parah. Dengan sikapnya yang manusiawi, Gombloh pun menanyakan keluhan yang dialami perempuan itu, sebagaimana layaknya seorang dokter. Setelah mengakui penyakitnya, Gombloh pun lantas menyuruhnya untuk segera berobat ke dokter dan semua biaya perawatannya ditanggung sepenuhnya oleh Gombloh. Gombloh memang seorang berjiwa sosial tinggi.
Sys NS, salah satu kawan Gombloh di radio Prambors, malah punya kenangan tersendiri terhadap jiwa sosial seorang Gombloh. Dia mengatakan, “Saya pernah melihat mas Gombloh itu dengan becak membagi-bagikan BH kepada beberapa WTS. Dia memang profil orang yang aneh, tapi sangat manusiawi”.
Ketika semakin populer, sayangnya dia belum berubah dari gaya hidupnya yang nyentrik itu. Tubuhnya tidak pernah diurus. Tetap suka begadang dan mengunjungi daerah-daerah lampu merah. Merokoknya juga semakin kuat, sehingga makin menggerogoti fisiknya. Tubuhnya semakin kurus, keropos dan ceking. Kulitnya semakin keriput, rambut, jenggot dan jambang dibiarkan tumbuh begitu saja, sehingga penampilannya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Tetapi itulah Sudjarwoto Sumarsono, yang nggomblohi namun luar biasa dalam berkarya.
Tulisan ini bisa disimak juga di Surabaya Punya Cerita (http://ceritasby.com)
Penulis: Dhahana Adi Pungkas (@dhahana_adi)
Founder Surabaya Punya Cerita (http://ceritasby.com ; @ceritasby)