Tinabo Yang Indah Di Taka Bonerate
Malam kian pekat, sudah lebih dari tujuh jam lamanya kami berada di atas kapal kayu Cahaya Illahi yang mengantarkan kami ke pulau Jinato. Jinato yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Takabonerate memang menjadi pusat penyelenggaraan Takabonerate Island Expedition, jadi semua rombongan memang diarahkan ke sana. Pulau ini lumayan besar dengan penduduk sekitar 100an KK. Sebagian besar penduduknya berbahasa bugis karena memang asalnya kebanyakan dari kabupaten Sinjai. Dari segi ekonomi, pulau ini terlihat maju. Terbukti dari deretan rumah batu dengan arsitektur yang lumayan modern, ditambah beberapa antena parabola di halaman rumah warga.
Malam itu air laut sedang surut sehingga kapal besar Cahaya Illahi tidak bisa merapat. Kami terdampar cukup jauh dari daratan, penumpangpun akhirnya harus ditransfer ke perahu-perahu kecil untuk bisa mencapai daratan. Proses untuk naik ke kapal kecil dan mencapai daratan tidak mudah. Malam yang gelap membuat proses perpindahan jadi agak sulit dan ketika berhasil naik ke perahu kecil itu, suasana menegangkan kembali terasa. Sang nakhoda hanya mengandalkan perasaan dan sebuah senter yang lebih sering padam.
Akhirnya setelah sempat berdebar-debar, kami tiba juga di dermaga pulau Jinato dan disambut puluhan anak SD berseragam pramuka. Seumur hidup, baru kali ini saya disambut anak-anak SD, rasanya seperti seorang pejabat penting. Meski begitu saya kasihan juga pada anak-anak itu, sudah jauh malam tapi mereka tetap harus terjaga menyambut kami, lengkap dengan seragam pula.
Di rumah kepala desa, kami yang termasuk dalam rombongan pejabat kabupaten kepulauan Selayar juga dijamu layaknya tamu penting. Anak-anak SD sudah siap dengan karton ukuran A4 yang berisikan nama dinas. Merekalah para pemandu yang mengantar kami ke rumah penduduk tempat kami diinapkan. Di karton yang dipegang anak-anak SD itu ada tulisan Tim Penggerak PKK, Dinas Pariwisata, Dinas Kesehatan, Bappeda, dan lain-lain. Bangga juga ketika melihat sebuah karton bertuliskan BLOGGER bersanding dengan nama-nama dinas kepemerintahan itu, meski kami yakin mereka tidak paham apa itu blogger.
Setelah berbasa-basi sejenak, kami kemudian diantar ke rumah pak Asfar, lelaki muda dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Malam itu kami akan beristirahat di rumah beliau. Pagi harinya kami berencana menyeberang ke pulau Tinabo, pulau yang jadi pusat pemberdayaan wisata diTaman Nasional Takabonerate. Seperti biasa, tidur jadi pilihan terakhir. Kami masih sempat duduk di teras rumah batu itu dan ngobrol sampai menjelang subuh.
Pagi harinya tanpa sempat mandi meski sempat sarapan di rumah pak Asfar, kami langsung menuju pulau Tinabo dengan menumpang sebuah kapal yang lumayan besar. Perjalanan dari Jinato ke Tinabo ditempuh dalam waktu 2 jam, berarti ini kali ketiga kami melintasi lautan untuk waktu yang cukup panjang. Sampai hari kedua sudah 3 jenis kapal yang kami gunakan. Kapal feri, perahu kayu besar dan yang ini perahu kayu sedang. Itu tentu saja belum termasuk dua perahu kecil yang kami pakai ketika menyeberang ke Gusung dan naik ke daratan dari kapal motor Cahaya Illahi.
Sekali lagi kami beruntung karena di bulan November ini cuaca masih sangat bersahabat. Langit cerah sedikit berawan, dan ombak tenang membuai. Perjalanan betul-betul melenakan. Hamparan laut berwarna biru tua berpadu dengan biru langit dan awan yang putih. Sesekali kami mendapati rombongan ikan terbang yang melintas menjauhi kapal. Cahaya matahari membias dan kadang terpantul sempurna di atas laut. Meski kadang merasa kepanasan, tapi semilir angin laut terasa sangat menyegarkan. Sungguh sebuah pemandangan yang tak membosankan. Laut di sekitar kamipun tidak sepenuhnya berwarna biru tua, kadang berwarna hijau tosca. Kadang kami bisa melihat langsung dasar laut yang dipenuhi soft coral , karang dan ikan-ikan hias. Rasanya sudah tidak sabar untuk menceburkan diri.
Akhirnya, setelah 2,5 jam kemudian sebuah pulau indah tampak di depan mata. Dari kejauhan pulau dengan pasir putih bersih itu sudah terlihat menggoda. Itulah pulau Tinabo yang jadi pulau utama untuk kawasan wisata di Taman Nasional Takabonerate.
Kami disambut beberapa orang staff Taman Nasional Takabonerate yang memang sudah menantikan kami. Sambutan ramah mereka bersanding sempurna dengan keindahan pulau kecil di selat Flores itu. Kami jadi heboh sendiri ketika melihat ribuan ikan yang bergerombol tidak jauh dari dermaga. Pun ketika kami melihat sendiri betapa jernih air lautnya sehingga pasir putih dan karangnya terlihat sempurna.
Karena sudah tidak sabar untuk mencicipi laut Tinabo, kami jadi tidak membuang-buang waktu. Hanya menaruh tas, menikmati suguhan teh panas dan langsung mencebur. Airnya sungguh jernih, dan pasirnya halus serupa bedak. Bila berdiri di garis pantai maka akan terlihat jelas perpaduan warna yang memikat. Pasir putih kekuningan, air laut jernih berwarna hijau tosca, air laut berwarna biru tua, langit biru cerah dan awan putih bersih. Sungguh perpaduan yang menenangkan.
Kami juga beruntung karena mendapat pinjaman kamera bawah laut sehingga kami bisa mengabadikan pemandangan di bawah sana yang sungguh memikat. Termasuk tentu saja mengabadikan gaya dan ekspresi ketika berada di bawah laut. Sebenarnya kami mendapat tawaran untuk mencoba menyelam menggunakan alat, tapi sayang karena kami tidak membawa persiapan dana sehingga tawaran seharga Rp. 400.000,- itu tidak kami sambut. Hanya Daeng Syamsoe seorang yang kemudian mencoba untuk diving.
Selama tiga jam berada di laut pulau Tinabo, kami tidak bosan-bosannya mencoba mengintip keindahan bawah lautnya meski hanya dengan berbekal alat snorkle. Saya bisa membayangkan, dengan alat sederhana itu saja kami sudah terpukau sedemikian rupa, bagaimana kalau misalnya kami benar-benar bisa mengintip sampai jauh ke dalam sana ya ?
Menurut pak Nadzrun Jamil yang juga adalah kepala seksi pengelolaan Taman Nasional Takabonerate wilayah 1 itu, Tinabo memang jadi pusat untuk kegiatan wisata di Takabonerate. Di antara 21 pulau yang termasuk dalam gugusan Taman Wisata Takabonerate, Tinabolah yang dikelola secara serius untuk menjadi tujuan wisata. Di sana ada beberapa kamar untuk para pengunjung, termasuk tentu saja paket diving.
Sayangnya, infrastruktur memang kurang mendukung. Untuk mencapai pulau Tinabo dari Selayar harus menyewa kapal karena tidak ada perjalanan reguler ke sana. Biaya sewa kapal milik nelayan bisa mencapai angka Rp. 2 juta sekali jalan. Biaya paket wisata di Tinabo di luar sewa kapal itu sendiri seharga Rp. 1 juta rupiah per hari per orang, termasuk biaya penginapan, makan dan paket diving. Sedangkan bila hanya berkunjung dan snorkling, biaya yang dipasang adalah sebesar Rp. 2.500 untuk retribusi dan Rp. 40.000 untuk snorkling.
Ketiadaan infrastruktur ini memang jadi penghambat berkembangnya wisata bahari di Takabonerate. Padahal menurut pak Jamil, kawasan Takabonerate yang termasuk atol terbesar ketiga di dunia ini punya banyak potensi yang unik. Gugusan karangnya berbeda dengan Bunaken misalnya. Bila di Bunaken gugusan karangnya membentuk dinding, maka di Takabonerate khususnya di daerah Tinanja karangnya berbentuk padang dengan soft coral yang berwarna-warni.
Sampai saat ini koordinasi memang belum berjalan dengan baik antara pihak pengelola taman nasional yang berada langsung di bawah departemen kehutanan dengan pihak pemerintah daerah kabupaten kepulauan Selayar. Koordinasi yang masih berantakan inilah yang membuat kawasan taman nasional yang ditetapkan sejak tahun 2001 ini kalah pamor dibanding kawasan yang sama di Wakatobi. Padahal menurut pak Jamil, semua punya keunikan yang berbeda dan sama menariknya.
Biaya yang mahal untuk mengunjungi Tinabo jelas membuat orang berpikir dua kali. Dengan biaya yang lebih murah orang sudah bisa berada di Bunaken, atau malah di Wakatobi. Sayang sekali, pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar masih terlihat kurang greget dalam mengelola potensi wisatanya. Padahal seperti yang kami lihat sendiri, Tinabo memang seperti sepotong surga yang diturunkan ke bumi. Alamnya indah, di daratan maupun di bawah laut.
Sekali lagi, Tinabo jadi bukti bagaimana pemerintah kita selalu kesulitan mengembangkan dan mempromosikan potensinya. Tidak heran kita kalah dari negara tetangga dalam urusan wisata. Mereka lebih serius mengelola potensi wisata mereka sehingga menarik perhatian para turis dalam maupun luar negeri.
Sore menjelang pukul 4 kami meninggalkan pulau Tinabo menuju daratan pulau Selayar. Rasanya berat harus meninggalkan pulau indah itu. Rasanya belum puas menikmati sepotong surga di kaki pulau Sulawesi itu, tapi apa boleh buat. Kami harus kembali. Di kapal menuju Selayar saya merasa miris, miris membayangkan betapa sebuah potensi yang sangat besar itu tidak dikelola secara profesional. Sungguh sayang.
Comments
indah nian
3 months ago