Titim Fatimah, Maestro Sinden Favorit Soekarno
Bagi orang Sunda yang hidup sekitar tahun 1960-an pasti tidak asing dengan nama Titim Fatimah. Seorang seniwati legendaris yang tidak saja terkenal di Jawa Barat tapi juga di seantero nusantara. Maestro sinden, yang kehadirannya selalu ditunggu oleh ribuan penggemarnya dimanapun ia manggung.
Konon, ketika beliau baru turun dari mobil saja para penggemarnya sudah mengerubunginya. Ini seringkali membuat petugas keamanan kewalahan menjaga sang primadona saat itu. Mungkin sosoknya saat itu bisa diibaratkan Agnes Monica atau Krisdayanti yang menjadi diva saat ini.
Ketika Titim Fatimah mulai membawakan sebuah tembang, semua penonton seakan terhipnotis menyimak suara merdunya dan biasanya selalu diakhiri dengan riuh tepuk tangan penonton. Begitu menjadi primadonanya Titim saat itu, bahkan para penggemarnya berani memberi saweran bukan hanya uang tetapi juga ada yang berani memberi mobil hingga rumah miliknya demi Titim.
Dipuncak karirnya, selain menjadi sinden pada acara kliningan dan wayang golek di pelosok Jawa Barat, Titim juga menjadi langganan pengisi acara di gedung pentas Museum Pusat Jakarta bersama grup Seni Sunda Studio RRI Jakarta. Beliau juga pernah ikut terlibat dalam film nasional berjudul Si Kembar (1961) produksi Gema Masa Film. Bahkan presiden Soekarno kerap kali mengundangnya ke Istana untuk nyinden di depan tamu negara.
Pada puncak karirnya tersebut honor yang diterimanya sekali manggung bisa melebihi honor penyanyi pop yang terkenal saat itu. Popularitasnya tersebut menjadikannya sinden paling terkenal dan paling sukses secara financial sepanjang masa. Kekayaan hasil jerih payahnya tersebut selain digunakannya untuk menunaikan ibadah haji, digunakan pula untuk merintis perusahan peternakan ayam dan perusahaan taksi. Selain itu sebagian hartanya juga digunakan untuk membangun Sekolah Dasar di Subang yang merupakan kampung halamannya dengan nama SD Titim Fatimah, yang masih digunakan hingga saat ini.
Titim Fatimah lahir di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1938. Pada usia 5 tahun, ia dibawa kembali ke kampung halaman orangtuanya H. Damri Sumarta ke Jalan Cagak, Subang, Jawa Barat. Sejak kecil bakat sinden Titim sudah terlihat, kemudian ia terus dibimbing oleh ayahnya yang juga mahir bermain kecapi dan kawih sunda. Menjelang remaja beliau semakin mendalami dunia sinden. Beberapa sinden dan ahli karawitan sunda beliau datangi untuk belajar, termasuk Upit Sarimanah sinden yang paling terkenal saat itu.
Merasa ilmunya sudah cukup, kemudian ia mendatangi RRI Bandung agar bisa nyinden disana. Namun, waktu itu RRI Bandung menolaknya. Tapi karena keinginan yang kuat untuk sukses di dunia sinden Titim tidak patah semangat, kemudian melalui Tuteng Djauhari pimpinan grup seni sunda RRI Jakarta ia berhasil manggung di RRI Jakarta. Sejak saat itu nama Titim mulai dikenal tidak hanya di Jawa Barat tapi juga keseluruh Indonesia.
Perjuangannya di dunia seni sunda patut diteladani. Karena beliau, pamor sinden saat itu menjadi meningkat. Sinden sunda tidak hanya di kenal di Jawa Barat tapi juga dikenal secara nasional. Karena beliau, harkat dan martabat sinden menjadi terangkat. Atas sumbangsihnya terhadap kebudayaan sunda tersebut, pada tanggal 23 Pebruari 2003 presiden Megawati Soekarno Putri memberinya penghargaan Satya Lencana Kebudayaan.
Untuk menghargai jasa beliau Pemda Subang juga pernah pernah menyelenggarakan pasanggiri sinden sunda dengan tajuk “Piala Titim Fatimah” pada tahun 2002 dan 2004 tapi sayang, entah mengapa event ini tak pernah digelar lagi hingga sekarang. Beberapa seniman sunda juga menyarankan untuk membuat patung Titim Fatimah atau sekedar dijadikan nama jalan untuk mengingat jasa beliau. Namun sayang, hal tersebut belum terwujud hingga kini. Nama besar “diva” yang menjadi idola pada zamannya itu, seakan dibiarkan hilang dimakan zaman.