Ulos Warisan Kekayaan Budaya Khas Suku Batak
Siapa yang tidak mengenal kain ulos? Kain indah khas Suku Batak ini tidak hanya terkenal oleh masyarakat indonesia sendiri, bahkan hingga ke mancanegara. Maklum saja, selain motif dan warna yang indah kain ini juga menyimpan sejarah dan nilai budaya batak. biasanya pembuatan kain ulos ini juga masih dengan cara tradisional yaitu dengan cara ikat lungsi. Masyarakat yang bisa membuat ulos pun memiliki kedudukan lebih tinggi dalam tradisi batak secara turun temurun.
Untuk membuat ulos, pengrajin terlebih dahulu menyusun benang sebelum akhirnya ditenun. Sesuai dengan tradisi, untuk membuat ulos ini tidak diperbolehkan menggunakan benang emas, karena memang benang emas hanya diperuntukan dalam membuat songket. Motif yang terdapat pada ulos pun biasanya mengandung arti dan makna tertentu. Pada awalnya kain ulos terlahir dari kondisi geografis tempat dimana suku batak bermukim. Suku batak berlokasi dipegunungan sehingga kain ulos dibuat untuk memberikan kehangatan bagi para pemakainya. Selain kehangatan secara fisik, kain ini juga dipercaya memiliki kehangatan secara psikologis.
Penggunaan ulos juga berbeda tergantung jenis kelamin si pemakai. Bila dipakai oleh kaum laki-laki, bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan bagian bawahnya disebut singkot. Sedangkan pada penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang, sabe-sabe atau detar. Namun tidak semua ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugja, sadum, ragi hotang, ragidup dan runjat hanya dapat dipakai pada waktu upacara-upacara tertentu. Ulos yang dipakai untuk kaum perempuan pun berbeda. Bagian bawah disebut haen, penutup punggung disebut hoba-hoba dan bila dipakai sebagai selendang disebut ampe-ampe. Untuk penutup kepala disebut saong dan untuk menggendong anak disebut parompa.
Secara garis besar, seorang masyarakat batak akan menerima setidaknya 3 macam ulos dalam hidupnya. Pertama pada saat kelahiran, dimana ulos akan diberikan sesuai dengan urutan mereka. Ulos untuk anak sulung akan berbeda dengan anak bungsu. Kemudian berbeda juga, apakah anak tersebut berasal dari ayah sulung atau bungsu. Beragam aturan adat tersebut menandakan bahwa suku batak memang kaya akan tradisi dan tetap menjaganya. Kemudian ulos kedua akan diberikan pada saat anak tersebut menikah. Pemberian ulos pun tidak boleh sembarangan, melainkan harus berdasarkan tradisi dan adat istiadat. Dan yang ketiga akan diberikan saat meninggal yang merupakan ulos terakhir yang diterima oleh seorang keturunan batak. pemberiannya berdasarkan pada kematian orang tersebut, seperti kapan orang tersebut meninggal. Muda, berkeluarga, atau tua.
Masih banyak memang keragaman ulos baik dari motif, adat istiadat dan lainnya. yang jelas hal tersebut mencerminkan bahwa suku batak adalah suku yang sangat menjaga tradisi dan adat istiadat mereka. Selain suku batak sendiri, ulos juga meupakan simbol sebuah karya Indonesia yang patut untuk dilestarikan.