Upacara Adat Mappanre Tasi
Bila Anda berkesempatan mengunjungi Kalimantan Selatan pada April nanti, saksikanlah Upacara Adat Mappanre Tasi. Upacara tradisional yang secara harfiah berarti “memberi makan laut” ini rutin diselenggarakan masyarakat Pantai Pagatan, Kalimantan Selatan secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.
Konon, upacara yang dilaksanakan secara terbuka dan melibatkan masyarakat ini dimulai pada 1901. Saat itu, pelaksanaan upacara diprakarsai Kepala Toa (Kepala Desa) pertama di Desa Pejala, La Muhamma. Selanjutnya, oleh para penerus, upacara ini rutin diadakan setiap tahun pada minggu pertama bulan April.
Pada 1969, 6 April ditetapkan sebagai Hari Nelayan. Sejak saat itu pula, pelaksanaan Upacara Mappanre Tasi diselenggarakan bersamaan dengan Hari Nelayan. Namun, bila bulan April bersamaan dengan jatuhnya bulan suci Ramadhan, pelaksanaan upacara digeser pada bulan berikutnya. Sebagai suatu tradisi, pesta laut Mappanre Tasi dilengkapi dengan persembahan sesajen seperti ayam, telur, pisang, ketan, ayam hitam dan kuning, serta peralatan upacara lain sesuai ketentuan.
Upacara Mappanre Tasi biasanya dilaksanakan pagi hari, sekitar pukul 09.00 WIT. Rombongan Sanro (dukun) membawa kelengkapan upacara adat memasuki ruang upacara dan menempati panggung yang telah disediakan dengan diiringi tabuhan rebana (tarbang). Tarian Tapung Tawar mengawali upacara sekaligus sebagai ucapan selamat datang kepada para tamu yang hadir dan undangan. Selesai tarian, tetuha adat/sesepuh menyerahkan makanan dan kelengkapan upacara kepada Sanro yang memimpin upacara. Setelah menerimanya, Sanro dan pengikut upacara membawanya ke laut sebagai acara puncak upacara.
Dengan perahu gandeng yang sudah dihiasi, Sanro dan pengikutnya menuju ke laut. Perahu gandeng ini khusus dibuat untuk upacara dan saat melaut akan diikuti beberapa perahu lainnya. Sanro yang memimpin upacara sudah menentukan lokasi puncak upacara yaitu sejauh beberapa mil ke laut. Sesampainya di lokasi, mereka menyalakan dupa yang sudah disiapkan.
Untuk menandai dimulainya upacara, petasan dibunyikan sebanyak tiga kali. Menurut kebiasaan, saat Sanro menyiapkan upacara, peserta upacara yang menaiki perahu lain harus mengelilingi perahu yang dinaiki Sanro berturut-turut sebanyak tiga kali. Sementara itu, Sanro membaca doa-doa atau mantra.
Kegiatan yang dilakukan di tengah laut tersebut adalah menyembelih ayam hitam yang darahnya dialirkan ke permukaan laut. Selanjutnya, nasi ketan yang diletakkan di permukaan laut sebagai simbol penyerahan sesajen. Saat ayam hitam selesai disembelih dan ditenggelamkan ke laut, para peserta upacara pun menenggelamkan dirinya bersama aneka sesajen ke dalam laut. Mereka tidak boleh meninggalkan tempat upacara sebelum ayamnya muncul dan mengapung di permukaan. Saat ayam telah mengapung, mereka akan berebut mengambilnya dan saat itulah upacara dinyatakan selesai.
Namun pada 1990, beberapa tradisi tersebut dikurangi karena dianggap memicu pertentangan dan merusak akidah Islam, agama yang mereka anut. Pada akhirnya, Mappanre Tasi dilaksanakan sebagai upacara adat biasa untuk mengungkapkan rasa syukur sekaligus menjadi budaya daerah setempat.