Backpacker on shoestring, Travel Warning: Pulau Temajo Dangerously Beautiful

Akhir pekan beberapa waktu yang lalu, 21-22 April 2012 saya bersama si sulung, Ziyad (Zee, 6 tahun) memutuskan untuk melakukan short trip backpacker dan camping di tepi pantai sebuah pulau yang tidak jauh dari pesisir pantai utara bagian barat pulau Kalimantan. Ini merupakan agenda bersama adik-adik  mahasiswa STKIP di Ma’had Labbaik yang sudah dicanangkan 2 pekan sebelumnya. Saya kemudian memutuskan juga untuk memilih moda transportasi umum dari kota Pontianak menuju ke Sei Kunyit. Salah satu kota kecamatan di Kabupaten Pontianak yang merupakan titik daratan terdekat menuju ke pulau Temajo.

Pilihan ini diambil demi memberikan pengalaman tersendiri bagi Zee yang belum pernah menggunakan public transportation di kota ini. Asal tahu saja, kota ini miskin  moda transportasi massal. Angkot jadul tahun 80-an dengan pintu bukaan di belakang masih beroperasi walaupun “senin-kamis”. Jumlahnya tidak banyak, serta kondisinya jauh dari nyaman dan tidak sampai malam. Saat sore hari saja mungkin beberapa ruas jalur sudah jarang ditemui adanya angkot, atau orang Pontianak mengenalnya juga dengan oplet. Pagi hari, Sabtu 21 April 2012, disaat sekolah-sekolah lain para pelajar sibuk menggunakan kebaya dan sanggul serta pakaian daerah—nggak tau apa hubungannya Hari Kartini dengan pakaian adat dan kebaya, apakah hanya karena ibu Kartini pakai kebaya di fotonya?— saya dan Zee bergaya petualang membawa tas ransel besar di punggung berisi pakaian ganti, sleeping bag, dan perlengkapan camping lainnya, sementara tas ransel kecil di punggungnya berisi bekal susu kotak, snack dan minuman. Kami memulai perjalanan dengan menumpang ferry penyeberangan sungai Kapuas, diantar oleh istri dan kedua adik-adik Zee: Taqiya dan Tsabita. Perjalanan kali ini memang khusus untuk laki-laki! hehe..

(gambar: Pelabuhan Dwikora Kota Pontianak) 3000 Rupiah untuk 2 orang sekali penyeberangan hingga di Siantan, Pontianak Utara. Dari terminal angkot kami kemudian menumpang jurusan Pontianak-Jungkat. Zee merasa tidak nyaman dengan suasana angkot yang panas, sumpek dan tentu berdesak-desakan. Yaaah.. khas Indonesia! Saya pikir ini merupakan pelajaran berharga bagi anak kami yang pertama ini. Walau sebenarnya ini bukanlah perjalanan backpacker-nya yang pertama. Beberapa tahun yang lalu kami pernah melakukannya tetapi di negara yang memiliki moda transportasi yang lebih baik: Malaysia, tepatnya di Kuching Serawak. Melakukan perjalanan ala backpacker ini sengaja saya pilih dengan beberapa tujuan diantaranya adalah:

  1. menguatkan fisik dan mental-jiwa anak, dalam menghadapi suasana dan kondisi yang tidak selalu nyaman
  2. melatih kepemimpinan dan leadership dalam mengelola hambatan dan rintangan serta kondisi yang tidak nyaman pada dirinya selama perjalanan
  3. melatih kesabaran dan keberanian
  4. membangun sweet memory dan kenangan berkesan dalam hidupnya.

Begitulah, setelah Zee menikmati sensasi menumpang angkot yang sempit, pengap dan sesak, perjalanan kami berlanjut dengan singgah di terminal Batu Layang. Terminal bis di ujung kota Pontianak ini tampak lengang dan sepi. Berbeda jauh dengan terminal bis di kota besar lainnya di Pulau Jawa. Bis yang tampak berjajar menunggu penumpang pun tak banyak. Saya hitung tak lebih dari 10 bis. Untuk trayek yang menuju ke arah Utara (Singkawang-Sambas dan sekitarnya) pun hanya satu buah bis lawas nan tak terawat. Sinar Baru namanya. Namun tak sama sekali baru. Demikian wajah public transportation kita, no safety regulation being well implemented, no time (from-to) estimation, and no comfort at all. Namun kita memang tidak memiliki pilihan lain. Sehingga wajarlah jika orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Dan dalam jangka panjang inilah yang menyebabkan high cost pada alokasi subsidi APBN untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak. Setelah menunggu hampir 1 jam, akhirnya bis pun bergerak meninggalkan terminal. Perjalanan menuju ke Sei Kunyit hari itu memakan waktu kurang lebih 2,5 jam. Tiba di pasar Sei Kunyit saya pun memutuskan untuk melaksanakan sholat Dzuhur dan Ashar jama’ dan qasar sebelum kami melaut menyeberangi Laut Cina Selatan. 12.40: Siang itu cuaca sangat cerah. Matahari bersinar terik. Gelombang laut tenang. Hari yang baik untuk melaut. Perahu kecil dengan panjang 9-10 meter, bermesin dompeng, bersuara khas memekakkan telinga itu pun melaju pelan meninggalkan dermaga kampung nelayan di Sei Kunyit. Beberapa kali perahu bergoyang dihantam ombak dan riak-riak gelombang kecil. Semua terkendali dan aman. Zee menikmati acara melaut kali ini… Pulau Temajo termasuk pulau terdekat dari pesisir pantai. Pulau ini termasuk pula dalam beberapa gugusan pulau-pulau di sekitar tepi pantai utara Kalimantan Barat di antara Pontianak-Singkawang. Perjalanan menggunakan perahu kelotok ini memakan waktu kurang lebih 45-50 menit. Pulau Temajo sendiri tidak memiliki penduduk yang bermukim secara menetap di situ. Pulau ini hanya menjadi tempat persinggahan nelayan dari Sei Duri dan sekitarnya, saat melaut untuk sekedar beristirahat dan mengolah tangkapan ikannya menjadi olahan lain seperti ikan teri asin yang cukup terkenal. Penduduk yang bermukim sementara itu hanya tinggal di beberapa bagian tepi pantainya. Di bagaian daratan yang landai dimanfaatkan juga untuk menanam cengkeh dengan sistem bagi hasil dengan pemilik sebagian besar tanah di Pulau ini, yang merupakan saudagar kaya di Sei Duri, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Bengkayang yang terletak tidak jauh dari Sei Kunyit ke arah Utara. Pada spot-spot yang menarik dan memiliki pemandangan indah, berdiri beberapa rumah semacam cottage atau disebut juga villa. Ada yang bergaya tropis namun ada yang dibangun seadanya. Gambar di atas merupakan cuplikan Pulau Temajo (sumber: Google Map), keterangan nama spot saya peroleh dari salah seorang nelayan yang kami jumpai di kampung nelayan yang terletak tidak jauh dari tempat kami bermalam. Perahu kami bergerak dari sisi Selatan hingga akhirnya memutuskan untuk bermalam di kawasan Pasir Panjang. Teluk yang lebih landai dengan areal pantai pasir yang memanjang dan menghadap ke arah matahari terbenam dengan beberapa rumah nelayan berjejer di salah satu kawasannya. Spot yang pas untuk melakukan berbagai aktivitas. Termasuk jika ada apa-apa kami bisa mudah meminta pertolongan dari warga pemukim sementara tersebut. (Gambar Zee asyik berenang dan bermain air di pantai berpasir yang tenang)   Malam harinya tanpa disangka, sekitar pk. 23.30 badai datang memporak-porandakan tenda. Terpaksalah kami mengungsi pada sebuah bangunan rumah yang tak berpenghuni dan lama tak didiami. Hujan beserta angin kencang lengkap membangun suasana dramatis yang menegangkan. Pagi hadir dengan suasana yang masih serba basah. Sholat shubuh pun di atas terpal basah sisa semalam. Dingin membuat semua malas beranjak dari selimut, sarung dan sleeping bag yang ada. Menjelang paruh menuju siang, cuaca mulai cerah. Matahari mulai berani menampakkan senyumnya.

Reply

Comment guidelines, edit this message in your Wordpress admin panel

All Right Reserved @2010 created by Paling Indonesia | Artikel Budaya Indonesia - Karya Cipta Indonesia | Tentang Kami | Kontak Kami

Related Links:

Togel178

Pedetogel

Sabatoto

Togel279

Togel158

Colok178

Novaslot88

Lain-Lain

Partner Links